Senin, 20 Juli 2009

PENGEMBANGAN IKAN KERAPU BEBEK DI PANTAI BATUNAMPAR DI PESISIR PANTAI BAGIAN BARAT TELUK EKAS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Pengembangan desa pantai sangat penting artinya mengingat profil desa pantai mencirikan keterbelakangan bahkan kemiskinan yang turun temurun. Padahal desa pantai mempunyai prospek sebagai pemasok utama pangan hewani dimasa datang mengingat potensi sumberdaya alam yang sangat mendukung. Desa pantai menghasilkan berbagai jenis produk perikanan baik untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun ekspor.
Upaya pengembangan desa pantai bertolak dari pemikiran bahwa mensejahterakan masyarakat pantai bukanlah tanggung jawab satu instansi saja melainkan tanggung jawab berbagai instansi dan lembaga dan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu pengembangan desa pantai berarti pengembangan yang terpadu dari berbagai instansi/lembaga dan masyarakat itu sendiri secara terpadu dengan tugas dan fungsi yang berbeda-beda tetapi menuju pada satu tujuan yaitu masyarakat pantai yang sejahtera. Bertolak pada kenyataan bahwa sebagian besar penduduk desa pantai adalah nelayan kecil maka pengembangan desa pantai adalah pengembangan masyarakat perikanan dengan didukung sektor lain.
Agribisnis perikanan merupakan suatu bentuk keterpaduan pengembangan desa pantai. Agribisnis merupakan kegiatan yang dimulai dari pengadaan sarana produksi, proses produksi, penenganan pasca panen dan pengolahan serta pemasaran produksi. Penerapan agribisnis secara utuh dan terpadu mengakibatkan produk dapat dipasarkan dengan baik sehingga nelayan dan pembudidaya ikan mendapatkan imbalan yang sebesar-besarnya.
Dalam pengembangan desa pantai, pemanfaatan sumberdaya harus dirancang secara optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan yang baik dan bijaksana akan berdampak pada kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam sebagai faktor utama pendukung produksi perikanan pesisir. Sebaliknya pengelolaan yang ceroboh dan gegabah akan mengakibatkan kerusakan sumberdaya alam yang pada akhirnya daya dukungnya pada produksi perikanan pesisir akan menurun.
Propinsi Nusa Tenggara Barat yang memiliki luas wilayah peraian laut (perairan pantai dan lepas pantai) mencapai 31.148 km2 dengan panjang pantai 2.900 km mempunyai potensi yang bagus untuk pengembangan budidaya ikan kerapu dalam karamba jaring apung. Potensi areal untuk budidaya kerapu di NTB adalah 1.445 ha dengan 1.200 ha berada di Sumbawa. Dari potensi areal tesebut baru dapat dimanfaatkan 11 ha di Kab. Lombok timur dan 0,05 ha di Kab. Bima (Anonimous, 2002).
Desa Batunampar yang terletak di teluk Ekas, kab. Lotim sejak lama dikenal sebagai sentra produksi rumput laut. Jumlah penduduk Dusun Batunampar sebanyak 980 jiwa (210 KK) yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan kecil, petani rumput laut dan pedagang hasil produksi pertanian/sarana keperluan nelayan dan sebagian kecil bekerja di sektor jasa dan pegawai swasta/negeri.
1.2 Rumusan Masalah
 Bagaimana respon dan peran masyarakat Desa Batunampar terhapdap budidaya ikan kerapu ?
 Bagaimana pengolahan dan pengembangan budidaya ikan kerapu di pantai Batunampar ?
 Apa dampak dari pemeliharaan ikan kerapu dalam keramba tengah laut ?
1.3 Tujuan
 Mengetahui respon dan persepsi nelayan terhadap introduksi teknologi budiaya ikan kerapu di pantai Batunampar.
 Mengetaui cara pengolahan dan pengembangan budidaya ikan kerapu di pantai Batunampar.
 Untuk mengetahui dampak dari pemeliharaan ikan kerapu dalam keramba tengah laut.

1.4 Manfaat Obserfasi
 Mengetahui respon dan peranan masyarakat Desa Batunampar terhadap budidaya ikan kerapu.
 Mengetahui cara pengolahan dan pengembangan budidaya ikan kerapu di pantai Batunampar.
 Mengetahui dampak dari pemeliharaan ikan kerapu dalam keramba jarring apung.
 Mengetahui dampak buat lingkungan setempat dengan adanya keramba jarring apung.
 Mengetahui budidaya apa saja yang di kembangkan di pantai Batunampar.

BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEFAN
2.1 Potensi Sumber Daya Desa Batunampar
Teluk Ekas yang berada di bagian selatan Pulau Lombok, secara administratif merupakan wilayah kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur. Lokasi teluk terlindung dari arus dan gelombang besar, karena adanya daerah karang di mulut teluk yang dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang. Dasar perairan sebagian besar berupa karang mati dengan pasir dan sebagian kecil berupa lumpur. Suhu udara rata-rata 24 – 31,3o C, suhu air 25,6 – 28.8oC, salinitas air laut 33 – 35 ppt, pH 7,8 – 8,9 dan kecerahan antara 3 – 5 m. Kedalamam air bevariasi antara 10 –15 m karena adanya lagun/ruang yang dibatasi oleh hamparan karang (Prisdiminggo et al., 2002)
Batunampar merupakan salah satu desa yang terletak di pesisir bagian barat teluk Ekas. Transportasi menuju desa Batunampar sangat lancar dengan jarak dengan ibukota propinsi adalah 60 km, jarak dengan ibukota kabupaten 50 km dan jarak dengan ibukota kecamatan adalah 25 km. Sarana penerangan listrik sudah masuk ke lokasi namum sarana air bersih masih sulit. Untuk mendapatkan air masyarakat harus membeli seharga Rp. 1.000,- /ember.
Sebagian besar penduduk desa Batunampar adalah nelayan penangkap ikan. Aktivitas penangkapan hanya terbatas di sekitar perairan teluk, karena menggunakan sampan ukuran kecil dengan penggerak motor tempel. Alat tangkap yang digunakan adalah berbagai jenis jaring dan pancing yang masih sederhana. Sebagian nelayan mempunyai bagan tancap/apung yang digunakan untuk penangkapan ikan pada malam hari dengan memanfaatkan lampu petromak.
Hasil tangkapan nelayan cukup beragam, baik jenis maupun ukuran. Ikan ukuran kecil yang tertangkap dikategorikan sebagai ikan rucah, harga jualnya berkisar Rp. 2000,- - Rp. 4.000,-/kg. Ikan-ikan ekonomis penting seperti kerapu, kakap dan lobster juga sering tertangkap di perairan tersebut namun harga jual untuk ikan tersebut masih sangat rendah karena digolongkan sama dengan ikan hasil tangkapan lainnya.
2.2 Potensi Budidaya Laut
Usaha budidaya rumput laut yang merupakan awal proses budidaya laut di desa Batunampar dimulai sejak tahun 1986 dan mencapai puncaknya pada tahun 1995 dengan jumlah rakit mencapai 3.000 unit. Metoda yang digunakan adalah metoda rakit terapung dengan ukuran rakit 10 x 10 m. Rata-rata produksi selalu berfluktuasi dari tahun ke tahun hal ini disebabkan karena harga jual rumput laut selalu berfluktuasi. Aktivitas petani dalam usaha budidaya rumput laut tidak berlangsung sepanjang tahun. Petani umumnya menanam rumput laut pada awal bulan April sampai dengan pertengahan September. Pada bulan Oktober sampai Februari merekan tidak menanam rumput laut karena mereka beralasan tingginya intensitas serangan penyakit rumput laut yaitu ice-ice pada bulan tersebut.
BPTP Mataram yang pada waktu itu masih berbentu instalasi mengadakan kajian rumput laut di Desa Batunampar pada tahun 1997. Dari Kajian tersebut didapatkan hasil waktu tanam rumput laut sebaiknya dimulai pada bulan April dan berakhir pada bulan September namun periode tanam antara bulan Mei – Agustus memberikan keuntungan yang lebih besar (Prisdimiggo et al., 1998)
Berdasarkan pengamatan di lokasi selama penelitian rumput laut, banyak sekali tertangkap oleh nelayan ikan-ikan ekonomis penting di daerah tersebut seperti kakap, kerapu dan lobster. Dengan melihat dasar perairan yang berupa karang dimungkinkan daerah tersebut merupakan habitat untuk ikan-ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Melihat fenomena tersebut BPTP Mataram mengadakan uji adaptasi pemeliharaan ikan kerapu dalam KJA. Jenis ikan yang digunakan adalah ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Jenis ini mempunyai harga yang sangat tinggi dan mempunyai pasaran ekspor di Hongkong. Dari Kajian ini didapatkan hasil bahwa jenis ikan ini dapat dibudidayakan dalam KJA dengan masa pemeliharaan 17 bulan dan berdasarkan analisa usaha didapatkan keuntungan sebesar Rp. 19.953.645,- (Prisdiminggo et al., 2002)
Dalam Kajian ini juga dilakukan ujicoba pemeliharaan udang karang (Panulirus sp) dalam karamba dan didapatkan hasil yang sangat memuaskan dengan SR 73,33% dan pertambahan berat 62,67 g selama 1,5 bulan. Udang karang jenis lain seperti udang karang jenis mutiara dan pasir juga memberikan respon yang sangat baik dipelihara dalam karamba (Prisdiminggo et al., 2002).
2.3 Konsep Pengembangan Desa Batunampar
Melihat potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta potensi budidaya yang terdapat di desa Batunampar, maka daerah tersebut dapat dikembangkan menjadi daerah pantai yang mempunyai basis budidaya laut. Hal-hal yang menjadi dasar pemikiran pengembangan budidaya laut adalah :
1. Teluk Ekas memenuhi persyaratan sebagai lokasi untuk budidaya laut seperti: terlindung dari pengaruh arus yang kuat, gelombang besar serta angin yang kencang serta bebas dari cemaran.
2. Dasar perairan yang berupa karang dimungkinkan sebagai habitat alami untuk ikan-kan karang ekonomis penting sehingga tidak akan kesulitan untuk mendapatkan pasok benih dari alam.
3. Keberhasilan pengkajian yang dilakukan BPTP NTB menunjukkan bahwa perairan ini memang cocok untuk lokasi budiaya laut seperti rumput laut dalam rakit terapung, kerapu dalam KJA dan lobster dalam KJA.
4. Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai nelayan kecil yang menghasilkan ikan rucah sebagai hasil tangkapannya, merupakan potensi untuk pemenuhan kebutuhan pakan ikan dalam budidaya dalan KJA.
Konsep pengembangan terpadu mutlak diperlukan dalam pengembangan desa Batunampar mengingat adanya beberapa aspek budidaya dan penangkapan ikan yang selama ini sudah dilakukan oleh sebagian masyarakat.
Ikan kerapu merupakan komoditas penting yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan pendapatan nelayan di desa Batunampar. Ikan kerapu khususnya jenis kerapu bebek mempunyai harga jual yang sangat tinggi. Pengkajian ikan kerapu yang dilakukan oleh BPTP NTB, sangat direspon oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat yang kemudian ikut mencoba budiaya ikan kerapu dalam karamba.
Teknologi budidaya yang diintroduksikan oleh BPTP Mataram sangat sederhana sehingga petani dapat menirunya tanpa kesulitan. Modal yang diperlukan sangat murah karena konstruksinya bisa dibangun dengan bahan yang tersedia disekitar petani dan tidak asing bagi mereka misalnya bambu, pelampung dan jaring. Metoda budidayanya juga sangat sederhana sehingga dapat diaplikasikan oleh petani. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ikan berupa ikan rucah masyarakat tidak mengalami kesulitan karena terdapat banyak bagan apung dan tancap yang dapt mensuplai kebutuhan ikan rucah setiap hari. Komoditas lain yang bias dibudiayakan dalam KJA ini adalah lobster.
Lobster juga merupakan komoditas yang penting karena harganya juga sangat baik, bias mencapai Rp. 160.000,- – Rp. 180.000.-. Lobster merupakan salah satu marga dari Crustacea laut yang mempunyai potensi ekonomis penting. Budidaya udang karang di Indonesia bulum banyak diusahakan, bahkan hanya terbatas pada usaha penangkapan. Pada umumnya udang karang diperdagangkan baik untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun untuk ekspor.
Di Indonesia dikenal adanya enam jenis udang karang dari marga Panulirus yaitu: P. homarus, P. Longipes, P. ornatus, P. peniculatus, P. penicillatus, P. polyphyagus dan P. versicolor (Moosa dan Aswandy, 1984). Ke enam jenis udang karang ini mempunyai sebaran yang berbeda dan beberapa diantaranya hidup pada habitat yang berbeda pula. Pengkajian udang karang yang dilakukan oleh BPTP NTB bermula dari ketidaksengajaan pada saat berlangsungnya pengkajian pemeliharaan kerapu. Waktu pengamatan dan pembersihan jaring banyak ditemui benih udang karang menempel pada jaring dan pelampung, bahkan ditemui masuk ke dalam jaring (KJA) dan tumbuh seperti ikan lainnya.
Mengingat lamanya masa pemeliharaan ikan kerapu dalam KJA yaitu sekitar 17 bulan untuk satu siklus pemeliharaan sehingga petani masih mempunyai banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan lain seperti budidaya rumput laut. Budiaya rumput laut yang sudah lama dikerjakan oleh petani perlu dikembangkan lagi mengingat metoda budidayanya sangat mudah. Berdasarkan hasil kajian dari BPTP NTB metoda budidaya yang dapat digunakan untuk budidaya rumput laut di Desa Batunampar adalah metoda rakit dengan ukuran rakit 10 x 10 m.
Penangkapan ikan yang merupakan sumber utama mata pencaharian masyarakat disana diharapkan dapat dapat terus dilaksanakan dengan tujuan untuk menunjang budidaya ikan. Ikan rucah hasil tangkapan nelayan dapat digunakan sebagai pakan untuk ikan yang dibudidayakan. Demikian juga ikan hasil tangkapan dari bagan tancap maupun bagan apung dapat digunakan sebagai pemasok pakan alami untuk karamba.
Kebutuhan benih ikan di karamba biasanya juga dapat dipenuhi dari bagan tancap/apung. Ikan-ikan kecil yang tertangkap biasanya terdapat juga jenis ikan karang seperti kerapu, kakap, beronang dll. Ikan-ikan ini kemudian ditampung untuk kemudian pada pagi hari dipindahkan ke KJA untuk dibudidayakan.
Untuk mengantisipasi ketergantungan benih alam maka kelestarian ekosistem di daerah habitat benih ikan-ikan karang perlu di jaga. Hal ini dapat dilakukan dengan melaksanakan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat tentang arti penting kelestarian sumberdaya alam dalam mendukung proses budidaya ikan yang mereka lakukan. Termasuk juga kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan dari penangkapan ikan yang tidak bijaksana misalnya dengan menggunakan bahan-bahan kimia dan bahan peledak. Penggunaan bahan-bahan kimia dan bahan peledak akan mengakibatkan kerusakan terumbu karang yang merupakan habitat alami bagi ikan-ikan ekonomis penting seperti kerapu, kakap, lobster dll.
Aspek pemasaran untuk ikan kerapu tidak menjadi masalah dengan datangnya PT. MINAUT yang bergerak dalam pembelian ikan kerapu bebek dari para petani. Saat ini kebutuhan ikan kerapu bebek hanya dapat dipenuhi dari tangkapan dari alam seperti dari bagan tancap dan bagan apung nelayan. Tingginya permintaan kerapu dari PT. MINAUT diharapkan dapat dipenuhi oleh budidaya ikan kerapu bebek dalam KJA oleh petani.
Dalam jangka panjang perusahaan ini akan bergerak pula dalam bidang pembenihan dan akan bermitra dengan petani dengan cara mensuplai kebutuhan benih dan akan menampung dan memasarkan hasil panennya. Pembangunan hatchery mutlak diperlukan untuk mengantisipasi lonjakan permintaan benih seiring dengan perkembangan budidaya ikan kerapu dalam KJA karena benih hatchery saat ini masih didatangkan dari Gondol Bali yaitu jenis kerapu bebek.
2.4 Kondisi biofisik ekosistem sumberdaya ikan di kawasan Teluk Ekas
Teluk Ekas bermuara ke Samudera Indonesia, di dalamnya terdapat hamparan terumbu karang (coral reefs) yang cukup luas meliputi 70% dari luasnya, terbentang membentuk pulau-pulau karang (taket : bahasa lokal). Hamparan terumbu karang ini berfungsi melindungi perairan Teluk Ekas dari gelombang dan arus keras yang berasal dari Samudera Indonesia. Terdapat 7 buah taket yang oleh masyarakat setempat diberi nama Toroh Pantai, Toroh Pene, Sapak Kokok, Sapak Bantunan, Sapak Perendang, Taket Biak dan Sapak.
Penutupan terumbu karang pada setiap taket berbeda-beda tergantung letaknya dari pantai dan intensitas pemanfaatannya oleh masyarakat setempat. Hasil penelitian Djamali et al.(1998) dan PKSPL-IPB (2000), menunjukkan bahwa persentase penutupan terumbu karang di Teluk Ekas berkisar antara 40% – 70% atau tingkat penutupan tergolong sedang sampai baik (Gomez and Alicia, 1984). Kerusakan terumbu karang di Teluk Ekas, umumnya disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang bersifat merusak (destructive) dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut, seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, racun sianida, kegiatan madak dan penambangan batu karang. Selain itu kerusakan terumbu karang juga disebabkan oleh banyaknya partikel lumpur (sedimentasi) yang dibawa oleh aliran air permukaan (run off ) dari daratan melalui sungai yang bermuara ke Teluk Ekas serta pencemaran limbah domestik yang dibuang ke pantai oleh masyarakat setempat.
Kondisi yang demikian dapat mempercepat laju penurunan populasi ikan. Hasil wawancara dengan masyarakat menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan-ikan karang ekonomis dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan gejala penurunan bahkan jenis-jenis ikan tertentu sudah jarang tertangkap. Ada hubungan antara penutupan terumbu karang dengan kepadatan ikan-ikan karang. Wagiyo dan Prahoro (1994) melaporkan bahwa kepadatan ikan semakin tinggi pada terumbu karang dengan tutupan yang sangat baik (135 ekor per100 m2), menurun 37% pada kondisi baik (82 ekor per100 m2) dan pada kondisi terumbu karang yang rusak terjadi penurunan sebesar 61% (51 ekor per100 m2). Menurut Dawes (1981) dalam Supriharyono (2000), terumbu karang merupakan ekosistem perairan laut dangkal yang paling ekstensif di bumi ini, dan secara biologis paling produktif di perairan laut tropis, bahkan mungkin di seluruh ekosistem baik di laut maupun daratan (Odum, 1971). Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan mencari makan (feeding ground) berbagai jenis ikan.
Hutan mangrove juga merupakan ekosistem terpenting selain terumbu karang. Hutan mangrove memegang peranan cukup penting karena selain berfungsi sebagai penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan (run off) dari daratan, juga berfungsi sebagai penahan abrasi pantai. Mangrove juga merupakan ekosistem penghasil sejumlah detritus, sehingga merupakan daerah asuhan, mencari makan dan pemijahan bagi lebih dari 80% ikan yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai. Di kawasan pesisir Teluk Ekas terdapat hutan mangrove seluas 263,63 ha, tersebar di sekitar pesisir Awang, Batunampar dan Pemongkong. Namun demikian kondisi hutan mengrove sudah semakin menurun, karena banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu bakar dan bahan-bahan lainnya, serta banyak dikonversi menjadi lahan tambak. Hasil penelitian PKSPL-IPB (2000), menunjukkan bahwa kondisi hutan mangrove di Teluk Ekas tergolong sedang.
Padang lamun (sea grass) juga banyak dijumpai di wilayah pesisir Teluk Ekas (madak = bahasa lokal), seperti Madak Wengkek yang terhampar cukup luas dari Batunampar sampai ke Saung, dengan kondisi rusak, sehingga bukan lagi merupakan ekosistem yang baik bagi ikan dan biota laut lainnya. Dalam kondisi yang baik, padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya (Bengen, 2001), sehingga merupakan habitat yang baik bagi ikan dan biota laut lainnya. Menurut penuturan masyarakat bahwa bahwa puluhan tahun yang lalu hasil tangkapan ikan yang diperoleh di daerah padang lamun cukup tinggi, tetapi sekarang keadaan itu tidak pernah dijumpai lagi.
Ekosistem terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun, ketiganya secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem, sehingga apabila terjadi perubahan pada salah satu ekosistem, cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya dan akan mempengaruhi fungsi ekosistem yang bersangkutan. Interaksi yang terjadi dapat dalam bentuk fisik, aliran nutrien bahan organik terlarut, bahan organik partikular, migrasi biota dan akibat aktivitas manusia.
Untuk menjamin kelestarian sumberdaya pesisir, perlu diperhatikan hubungan-hubungan ekologis yang berlangsung di antara komponen-komponen sumberdaya alam yang menyusun suatu sistem di wilayah pesisir tersebut. Oleh karena itu segala aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut perlu dikendalikan agar kelestarian terumbu karang, padang lamun dan hutan mangrove tetap terpelihara.
Di Teluk Ekas juga terdapat berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis penting. Hasil wawancara dengan nelayan dan pengamatan penulis menunjukkan bahwa jenis ikan, kerang-kerangan dan rumput laut yang sering dijumpai di Teluk Ekas, seperti ditunjukkan pada
Tabel Jenis ikan, kerang-kerangan dan rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis penting yang terdapat di Teluk Ekas, 2004.
Jenis Nama latin Status pengelolaan Kondisi
Kerapu tikus Cromileptis altivelis Pembesaran Banyak
Kerapu lumpur Epinephalus tauvina Tangkap dan pembesaran Banyak
Kerapu sunu Plectropoma maculatum Penangkapan Jarang
Kerapu macan E. fuscoguttatus Penangkapan Jarang
Kakap putih Lates carcarifer Penangkapan Jarang
Kakap merah Lutjanusargentim aculatus Penangkapan Jarang
Baronang Siganus spp Penangkapan Banyak
Udang pasir Panulirus homarus Tangkap dan pembesaran Banyak
Udang mutiara Panulirus ornatus Tangkap dan pembesaran Banyak
Udang bambu Panulirus versicolor Tangkap dan pembesaran Jarang
Udang merah Panulirus longipes Tangkap Jarang
Geranggang makan Eucheuma spinosum Budidaya rakit apung Banyak
Geranggang E. cottonii Budidaya rakit apung Banyak
Sangok E. muricatum Dipetik di alam Banyak
Kerang hijau Perna viridis Penangkapan Jarang
Tiram Crassostrea gigas Penangkapan Jarang
Rajungan Portunus pelagicus Penangkapan Banyak
Teripang Holothuria scabra Penangkapan Jarang
Sotong Sepithiotis lessoniana Penangkapan Banyak
Sumber : Data primer diolah 2004.
Berdasarkan hasil analisis (Tabel 1) menunjukkan bahwa Teluk Ekas merupakan habitat yang baik bagi berbagai jenis ikan karang dan rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis penting, sehingga sangat potensial dikembangkan sebagai kawasan budidaya laut. Beberapa jenis ikan yang dijumpai di Teluk Ekas, sudah ada yang dibudidayakan, seperti kerapu tikus/bebek, kerapu lumpur dan berbagai jenis lobster (pasir, mutiara dan bambu). Dua di antara beberapa jenis rumput laut yang terdapat di Teluk Ekas sejak tahun 1986 sudah biasa dibudidayakan masyarakat, yaitu Eucheuma spinosum dan E. cottonii.
Beberapa jenis ikan yang banyak dijumpai tetapi belum dibudidayakan antara lain : baronang, rajungan dan sotong. Jenis ikan yang kondisinya sedang/jarang tetapi berpotensi untuk dibudidayakan adalah kakap dan tiram. Sedangkan jenis ikan yang mulai jarang dijumpai, adalah kerapu sunu, kerapu macan, udang merah, teripang dan kerang hijau.
2.5 Kualitas fisik perairan
Hasil pengukuran langsung beberapa parameter utama kualitas fisik perairan menunjukkan bahwa kualitas fisik perairan di Kawasan Teluk Ekas masih memenuhi persyaratan sebagai lokasi pembesaran ikan dalam KJA, seperti terlihat pada.
Tabel Nilai parameter kualitas fisik perairan Teluk Ekas, 2003.
Parameter Nilai Parameter Kriteria Baku *)
1. Gelombang dan arus Kurang dari 2 m Kurang dari 2 m
2. Kecepatan arus (cm/detik) 6,67 – 10 5 -15
3. Suhu permukaan air (oC) 26,4 – 26,8 26 – 32
4. Salinitas (o/oo) 33 – 35 Fluktuasi < 3
5. Kecerahan air (m) 3,5 – 5 Lebih dari 3
6. Kedalaman air (m) 10 – 35 Lebih dari 5
Sumber : Data primer diolah 2003
*) Kriteria menurut Gunarso (1985); Ahmad et al.(1991) dan Imanto (2000).
Hasil analisis (Tabel 2), menunjukkan bahwa parameter kualitas fisik perairan masih berada pada kisaran yang layak untuk dijadikan lokasi pembesaran ikan dalam KJA berdasarkan kriteria Gunarso (1985); Ahmad et al. (1991) dan Imanto (2000). Adanya hamparan terumbu karang yang terbentang membentuk pulau-pulau karang, melindungi perairan Teluk Ekas dari gelombang dan arus keras yang berasal dari Samudera Indonesia, sehingga tinggi gelombang rata-rata kurang dar 2 m.
Kecepatan arus rata-rata 6,67 – 10 cm/detik karena dipengaruhi oleh angin yang berasal dari Samudera Indonesia dan pasang surut yang melebihi 1 m, sehingga terhindar dari stratifikasi suhu dan salinitas yang melampaui toleransi. Salinitas perairan berkisar antara 33-35 o/oo (fluktuasi <3). Kecerahan air 3,5 – 5 m (> 3 m) dan kedalaman air bervariasi antara 10 – 35 m (> 5 m), dengan dasar perairan didominasi oleh hamparan terumbu karang, karang berpasir dan lumpur berpasir, merupakan lokasi yang cukup ideal untuk lokasi budidaya laut.
Salah satu faktor penting dalam usaha pembesaran ikan dalam KJA adalah menjaga agar kualitas air tetap dalam keadaan yang optimal atau tidak terjadi perubahan atau penurunan secara drastis. Untuk mengetahui pengaruh usaha pembesaran ikan dalam KJA terhadap perubahan kualitas air, dilakukan pengamatan parameter utama kualitas fisik perairan, yaitu kecepatan arus, suhu, salinitas dan kecerahan air. Ke empat paramater tersebut merupakan parameter utama kualitas air yang penting bagi biota laut (Dahuri et al., 2001).
Pengamatan dilakukan di tiga titik pengamatan, yaitu di sekitar KJA (jarak 0 m dari KJA), jarak 200 m di luar KJA dan jarak 500 m di luar KJA. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kualitas fisik perairan di sekitar KJA tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel Nilai rata-rata parameter kualitas fisik perairan di sekitar dan di luar KJA, 2003
Parameter Sekitar KJA
(jarak 0 m) Luar KJA
(jarak 200 m) Luar KJA (jarak 500 m) Standar *)
1. Kecepatan arus (m/menit) 4,20 4,50 4,90 4,0 – 8,0
2. Suhu air (oC) 26,75 27,25 27,25 26 – 30
3. Salinitas (o/oo) 34,50 34,00 34,00 30 – 35
4. Kecerahan (m) 3,25 3,90 3,25 > 3
Sumber : Data primer diolah 2003. *) standar Gunarso (1985); Ahmad et al.,(1991);Imanto, (2000).
Hasil pengamatan kualitas fisik perairan (Tabel 3) menunjukkan bahwa antara kualitas fisik perairan di sekitar KJA (jarak 0 m), dengan di luar KJA (pada jarak 200 m dan 500 m), tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usaha pembesaran ikan dalam KJA di Teluk Ekas tidak mengakibatkan terjadinya perubahan yang nyata pada kualitas fisik perairan (p>0,05) dan masih berada dalam kisaran yang optimal untuk budidaya laut berdasarkan standar Gunarso (1985), Ahmad et al. (1991) dan Imanto (2000).
Beberapa faktor yang menyebabkan kualitas fisik perairan tetap dalam kondisi stabil, antara lain : (a) jumlah unit KJA masih sedikit; (b) jarak antara unit KJA yang satu dengan lainnya masih cukup renggang, (sekitar 50-100 m); (c) sifat air laut yang selalu bergerak karena adanya arus pasang dan arus surut dengan kecepatan 4,2 – 4,9 m/menit, memungkinkan sirkulasi air laut cukup lancar; (d) kedalaman air di sekitar KJA antara 10-15 m, cukup memberi ruang gerak bagi arus air laut di bawah KJA yang hanya 2-3 m di bawah permukaan air laut; (e) jenis pakan yang diberikan berupa ikan rucah segar dengan sistem pemberian sedikit demi sedikit, memungkinkan sisa pakan yang terbuang dapat diminimalkan serta banyaknya ikan-ikan liar dan organisme pemangsa ikan yang terdapat di bawah jaring yang memanfaatkan sisa-sisa pakan yang terbuang, sehingga sisa pakan yang terbuang tidak sampai ke dasar perairan.
Pada kondisi kepadatan KJA yang tinggi, maka penggunaan pakan ikan rucah secara intensif, berpotensi menimbulkan pencemaran. Hal ini disebabkan oleh proses dekomposisi sisa pakan dan kotoran ikan yang tertimbun di dasar perairan. Proses dekomposisi bahan organik akan menyebabkan terjadinya penyuburan (eutrofikasi) yang pada gilirannya akan menyebabkan masalah rendahnya kadar oksigen terlarut di dasar perairan dan seringkali menyebabkan kematian massal pada ikan peliharaan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa parameter utama kualitas fisik perairan dan ekosistem wilayah pesisir Teluk Ekas telah memenuhi kriteria lokasi untuk budidaya laut menurut Gunarso (1985); Ahmad et al. (1991); Mayunar et al.(1995); dan Imanto (2000). Kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat juga cukup mendukung, hal ini terlihat dari sikap dan perilakunya yang progresif dan berwawasan lingkungan serta keamanan usaha terjamin terutama dari pencurian.
2.6 Ketersediaan sarana produksi dan pendukung
Ketersediaan sarana produksi (terutama benih dan pakan) merupakan faktor penting dalam menunjang keberlanjutan usaha pembesaran ikan dalam KJA, karena menyerap hampir 70% dari total biaya produksi. Karena itu kemampuan penyediaan benih dan pakan secara lokal merupakan salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi keberlanjutan usaha dan meningkatkan pendapatan.
Benih kerapu meskipun sudah dapat diproduksi secara massal di panti-panti pembenihan (hatchery), namun ketersediaannya masih terbatas, disamping jarak sumber benih dengan lokasi budidaya cukup jauh sehingga harga benih dinilai masih mahal. Demikiann pula pakan dalam bentuk pelet, meskipun sudah dapat diproduksi tetapi harganya cukup mahal, sehingga nelayan lebih memilih menggunakan ikan rucah sebagai pakan, walaupun ketersediaannya masih dipengaruhi oleh faktor musim dan kondisi lingkungan.
Benih dan pakan lobster sepenuhnya bersumber dari alam. Benih lobster sampai saat ini belum dapat diproduksi di panti-panti pembenihan (hatchery), demikian pula pakan dalam bentuk pelet. Dengan demikian tingkat keberlanjutan usaha pembesaran lobster sangat tergantung dari alam. Walaupun benih lobster dapat dijumpai sepanjang tahun namun jumlah maupun ukurannya tidak merata. Ukuran benih yang tertangkap tergantung pada musim. Hal ini erat kaitannya dengan fase-fase pertumbuhan lobster.
Di Teluk Ekas, benih lobster mulai tertangkap sejak fase filosoma pada bulan Juni-Agustus. Pada periode Agustus-Oktober, benih yang tertangkap pada umumnya fase puelurus yang sudah menyerupai lobster sesungguhnya, hanya ukurannya masih sangat kecil (5-8 gr/ekor). Sedangkan pada bulan September-November, umumnya benih yang tertangkap sudah dalam fase juvenil, dengan ukuran 8-25 gr/ekor. Pada bulan Desember-Januari benih yang tertangkap rata-rata sudah mencapai ukuran 25-50 gr/ekor atau lebih. Dengan demikian periode November-Desember dianggap oleh nelayan sebagai puncak penangkapan benih lobster. Sedangkan periode Februari-Juni adalah musim paceklik. Jenis lobster yang umum tertangkap dan dibesarkan di Teluk Ekas adalah jenis pasir (Panulirus homarus), mutiara (P. ornatus) dan daun bambu (P. versicolor).
Ikan rucah walaupun tersedia sepanjang tahun, namun tingkat ketersediaannya juga tergantung pada musim. Puncak produksi ikan rucah umumnya terjadi pada musim penghujan, yaitu pada bulan November – Februari dan musim paceklik terjadi bulan Juni-Agustus.
Perhatian nelayan terhadap masalah pakan dalam usaha pembesaran ikan dalam KJA, menyebabkan terjadinya perubahan perilaku dan etos kerja nelayan Teluk Ekas. Jika pada saat sebelum adanya usaha pembesaran ikan dalam KJA intensitas penangkapan ikan rucah rata-rata 24 trip per bulan, setelah adanya usaha pembesaran ikan dalam KJA, intensitasnya meningkat menjadi 28 trip per bulan. Disamping itu adanya usaha pembesaran ikan dalam KJAc nilai jual ikan rucah meningkat. Beberapa jenis ikan rucah yang sebelumnya tidak disukai dan tidak laku dijual, setelah adanya usaha pembesaran ikan dalam KJA jenis ikan tersebut laku dijual.
Ketersediaan sarana pendukung merupakan salah satu faktor yang penting dalam mendukung usaha pembesaran ikan dalam KJA yang efisien. Unit KJA terdiri atas kerangka, pelampung, jangkar dan wadah jaring. Sebagian besar kerangka terbuat dari bambu aur dan bambu petung, karena selain bahan tersebut penyediaannya cukup mudah, harganya relatif murah dan usia ekonomisnya cukup lama. Usia ekonomis bambu aur mencapai 2-3 tahun dan bambu petung 4-5 tahun. Jenis pelampung yang umum digunakan adalah styrofoam dan pelampung bulat eks pelampung kerang mutiara. Kedua jenis pelampung ini relatif mudah diperoleh di lokasi. Wadah pemeliharaan dari jaring polyethelene (PE).
Untuk menahan agar KJA tidak terbawa arus, diberi jangkar penahan yang terbuat dari batu, dengan berat dan jumlah jangkar disesuaikan dengan ukuran KJA. Menurut Ahmad et al.(1995), konstruksi KJA selain dipengaruhi oleh spesies ikan yang dipelihara juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, metode budidaya, sifat dan biaya serta ketersediaan bahan setempat. Sedangkan untuk menunjang aktivitas operasional dan pengawasan, digunakan sampan yang digerakkan dengan motor tempel berkekuatan 2,5 PK atau dayung sebagai sarana transportasi. Bentuk dan ukuran KJA tergantung pada kemampuan nelayan (Gambar 1 dan 2).
2.7 Aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut
Terjadinya perubahan-perubahan yang cepat di wilayah pesisir dan laut, selain disebabkan oleh kondisi alami wilayah pesisir dan laut serta pengaruh-pengaruh dari luar, juga karena wilayah pesisir dan laut merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources), serta karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang terbentuk oleh kondisi sumberdaya setempat. Lebih dari 3000 KK penduduk yang tinggal di sekitar kawasan Teluk Ekas telah memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut Teluk Ekas sebagai sumber pencaharian pokok maupun sampingan. Dengan kondisi sosial ekonomi yang tergolong rendah, serta penerapan teknologi yang masih tradisional, menyebabkan akses dan mobilitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut sangat terbatas, yaitu hanya mampu beroperasi di kawasan pesisir yang umumnya sudah dikategorikan padat tangkap.
Berdasarkan pengamatan penulis terlihat bahwa beberapa aktivitas nelayan yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan pesisir dan laut Teluk Ekas adalah penangkapan ikan menggunakan bahan peledak, racun sianida dan tuba. Racun sianida yang disemprotkan di sekitar tempat persembunyian lobster dan kerapu, tidak hanya merusak terumbu karang, tetapi membunuh telur dan benih lobster atau ikan ekonomis lainnya yang berada di sekitarnya. Menurut Sugiharto (1987), kadar sianida di bawah 1 mg/l dapat membunuh ikan dan kehidupan air lainnya. Penggunaan sianida dalam penangkapan lobster dan kerapu juga dapat mempengaruhi keberlanjutan usaha pembesaran lobster dan kerapu di kawasan Teluk Ekas. Hal ini disebabkan oleh : (a) menurunnya produktivitas benih secara alami karena lingkungan (habitat ) rusak, (b) telur atau benih banyak yang mati terkena racun, (c) penangkapan induk-induk (lobster) yang produktif atau sedang bertelur.
Pengambilan rumput laut di alam secara tidak terkontrol juga banyak dilakukan oleh masyarakat. Demikian pula pengambilan kerang-kerangan, ikan dan biota lainnya di daerah terumbu karang pada saat surut terendah yang biasa disebut madak (bahasa lokal). Kegiatan madak berlangsung 6-8 kali dalam sebulan, dilakukan oleh masyarakat baik yang berasal dari wilayah pesisir Teluk Ekas maupun dari wilayah atas (luar kawasan Teluk Ekas). Menurut pengamatan dan penuturan nelayan bahwa lebih dari 500 orang melakukan madak dalam satu kali (sekitar 4-5 ribu orang/bulan). Kegiatan madak seringkali bersifat destruktif, yaitu menggunakan bahan berbahaya dan beracun, seperti tuba, sianida serta tindakan destruktif lainnya yang merusak terumbu karang dan lamun.
2.8 Persepsi dan partisipasi nelayan terhadap lingkungan
Persepsi merupakan suatu pandangan, pengertian dan interpretasi seseorang mengenai suatu obyek yang diinformasikan kepadanya. Sedangkan partisipasi adalah keterlibatan atau keikutsertaan seseorang di dalam kegiatan di lingkungannya (bermasyarakat) untuk kepentingan bersama, terutama melalui kegiatan-kegiatan masyarakat (Adnyana, 2001). Menyadari bahwa sumberdaya ikan memiliki fungsi ekonomis yang sangat penting bagi kehidupan nelayan di Teluk Ekas, maka partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan hal yang sangat penting. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan UNCED (1992), bahwa penanganan terbaik isu-isu lingkungan adalah dengan partisipasi seluruh masyarakat yang tanggap terhadap lingkungan dari berbagai tingkatan. Perlindungan lingkungan seharusnya menjadi bagian integral dari proses pembangunan dan tidak dapat dianggap sebagai bagian yang terpisah dari proses tersebut.
Hasil analisis mengenai persepsi dan partisipasi nelayan terhadap lingkungan di Teluk Ekas, menunjukkan bahwa pada umumnya nelayan mengetahui dan memahami bahwa kerusakan lingkungan dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan ikan. Aktivitas pembesaran ikan dalam KJA di Teluk Ekas telah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
Hal ini dapat dilihat dari perubahan sikap dan perilaku masyarakat terhadap berbagai aktivitas yang dapat merusak lingkungan, seperti pengeboman, pemotasan atau penggunaan tuba di sekitar kawasan budidaya. Sejak adanya usaha pembesaran ikan dalam KJA, aktivitas pengeboman menurun drastis, penggunaan potas dan tuba hanya dilakukan di luar kawasan budidaya yang umumnya nelayan penangkap lobster dan kerapu, dan para pemadak.
Sebelumnya aktivitas tersebut biasa dilakukan. Perubahan sikap dan perilaku nelayan ke arah yang lebih ramah lingkungan juga ditunjukkan dengan perlakuan terhadap induk-induk lobster yang bertelur. Induk lobster yang bertelur tidak langsung dijual, melainkan dipelihara dalam KJA sampai telurnya terlepas. Telur-telur yang dilepaskan di sekitar KJA diharapkan akan menetas dan tumbuh menjadi benih dan menempel pada substrat yang terdapat di sekitar KJA. Kenyataan menunjukkan bahwa lebih dari 40% kebutuhan benih lobster diperoleh dari hasil penangkapan di sekitar KJA.
Sejak usaha pembesaran ikan dalam KJA mulai berkembang di Teluk Ekas, masyarakat membentuk hukum adat yang disebut awig-awig. Awig-awig merupakan produk hukum masyarakat adat Pulau Lombok, yang berisi peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang bertujuan mengatur tata tertib kehidupan suatu komunitas yang terikat dalam satu wilayah domisili (desa adat atau krama desa). Di dalam awig-awig termuat peraturan kehidupan yang harmonis antara anggota komunitas dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam hubungan masyarakat lainnya.
Butir-butir yang diatur dalam awig-awig meliputi hak dan kewajiban anggota komunitas berikut sanksi atas pelanggaran mulai dari yang digolongkan ringan sampai berat, berupa peringatan, denda, perampasan, pengusiran dari komunitas dan sanksi spiritual.
Awig-awig merupakan salah satu bentuk kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Sampai dengan saat penelitian, di kawasan Teluk Ekas telah terbentuk 4 buah awig-awig yang terkakit dengan pengelolaan lingkungan, yaitu awig-awig tentang pengelolaan sumberdaya perikanan, awig-awig tentang pengelolaan suaka perikanan (fish sanctuary), awig-awig tentang pengelolaan sea ranching spat mutiara dan awig-awig krama/garap di tingkat dusun, yang mengatur tentang keamanan dusun dan sanksi terhadap pelanggar keamanan dusun khususnya di dusun Batunampar.

Di dalam awig-awig pengelolaan sumberdaya perikanan diatur mengenai berbagai hal, antara lain :
a. Ketentuan mengenai penetapan zona penangkapan.
b. Wilayah, alat tangkap dan jenis ikan yang boleh ditangkap.
c. Pengaturan budidaya laut.
d. Parangan penangkapan ikan dengan bom, bahan berbahaya dan beracun.
e. Perlindungan hutan bakau, pasir pantai, batu karang dan biota lainnya.
f. Kelembagaan dan sumberdana pengelolaan.
g. Dan sanksi dan prosedur pemberian sanksi.
Awig-awig tentang pengelolaan suaka perikanan (fish sanctuary), mengatur secara khusus tentang suaka perikanan yang terletak di kawasan terumbu karang Sapak Kokok, Teluk Ekas. Dalam ketentuan umum pasal 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan suaka perikanan adalah kawasan laut yang dilindungi secara permanen sari segala kegiatan eksploitasi. Dalam awig-awig ini mengatur tentang :
a. Cakupan wilayah suaka perikanan.
b. Hak dan kewajiban masyarakat,
c. Kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang; kelembagaan pengelolaan.
d. Dan sanksi dan prosedur pemberian sanksi.

2.9 Foto-foto Hasil Obserfasi
















BAB III
METODE OBSERVASI
3.1 Tempat dan Waktu Observasi
Tempat Observasi di lakukan di Pantai Batunampar, di Desa Batunampar pada bulan Mei 2009
3.2 Metode Observasi
Metode penelitian yang di lakukan disini, dengsn menggunakan metode yaitu:
 Dengan cara browsing internet.
 Dengan cara membaca buku mengenai budidaya kerapu pada Keramba Jaring Apung.
 Mengadakan pengamatan secara tidak lansung atau dengan cara mengadakan pengamatan perantara. Minta tolong sama keluarga untuk mengadakan pengamatan dan penelitian di pantai Batunampar, dan mewawancarai warga setempat.
 Karna kebetulan saya sendiri juga tinggal di desa Batunampar, Jadi saya mengetahui sedikit tentang budidaya kerapu pada Keramba Jaring Apung, dan jenis budidaya lain yang di budidayakan di pantai Batunampar. Dan mengetahui kondisi daerah Pantai Batunampar.






BAB IV
PERMASALAHAN DAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN
4.1 DAMPAK EKONOMI
Seperti yang kita ketahui disini, bahwa penghasilan warga setempat menjadi lebih baik dan meningkat sejak di adakannya Budidaya Kerapu pada Keramba Jaring Apung. Dengan di adakannya Pengembangan Ikan Kerapu di Pantai Batunampar ini, berperan penting dalam penghasilan masyarakat di desa Batunampar. Untuk itu dapat di katakana membawa dampak ekonomi yang sangat baik bagi masyarakat Batunampar. Apalagi sebagian besar masyarakat Desa Batunampar bekerja sebagai nelayan.
4.2 DAMPAK SOSIAL
Dengan di adakannya pembudidayaan di Pantai Batunampar, Masyarakat disana menjadi lebih akrap,ramah dan saling menghargai. Dan memegang teguh rasa persatuan dan kesatuan.
4.3 DAMPAK EKOLOGI
Seperti yang di ketahui, dengan di adakannya Keramba Jaring Apung atau Rakit Rumput Laut, dapat mengurangi keindahan pantai, dan menjadikan air pantai menjadi keruh. mengurangi kelestarian pantai.
4.4 DAMPAK PENDIDIKAN
Dengan adanya peningkatan pendapatan, masyarakat merasa kaya terutama golongan pemuda, sehingga malas untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, anak-anak muda disana jarang ada yang melanjutkan sekolahnya.

BAB V
KESIMPULAN
Potensi sumberdaya alam Desa Batunampar untuk pengembangan budidaya laut perlu sekali diimplemntasikan dengan pengembangan Desa Batunampar berbasis budidaya laut. Budidaya laut yang dapat dikembangkan antara lain budidaya ikan kerapu dalam KJA, budidaya lobster dalam KJA dan budidaya rumput laut. Suplai pakan ikan rucah untuk budidaya tersebut dapat dipenuhi dari hasil tangkapan bagan tancap dan bagan apung yang dilakukan nelayan setempat.
Ketergantungan benih alam untuk budidaya perlu diimbangi dengan upaya menjaga kelestarian ekosistem sebagai habitat alami ikan-ikan tersebut. Usaha hatchery benih perlu dilakukan untuk mengantisipasi permintaan benih yang melonjak. Untuk pemasaran dan kebutuhan benih perlu adanya pola kemitraan dengan perusahaan yang bergerak dalam ekspor ikan kerapu misalnya PT. MINAUT yang saat ini sudah bergerak di desa Batunampar dan akan membangun pula hatchey untuk ikan kerapu bebek.
Ditinjau dari aspek biofisik, kondisi ekosistem wilayah pesisir Teluk Ekas cukup ideal untuk lokasi pengembangan usaha budidaya ikan dalam keramba jaring apung. Ketersediaan benih dan pakan secara lokal, serta kemudahan memperoleh bahan konstruksi KJA, memungkinkan usaha ini dapat dikelola secara efisien dan berkelanjutan;
 Secara ekologis usaha pembesaran ikan mampu mengendalikan kerusakan lingkungan. Selain karena teknologinya yang ramah lingkungan atau tidak bersifat destruktif, persepsi dan partisipasi nelayan cukup baik terhadap pengelolaan lingkungan.
 Usaha pembesaran ikan dalam KJA bersifat permanen dan terkontrol, sehingga memungkinkan hasil dan pendapatan yang diperoleh dapat diprediksi atau kepastian hasil lebih terjamin.
 Usaha pembesaran ikan dalam KJA dapat memberikan peluang usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, antara lain : usaha penyediaan benih, pakan, bahan konstruksi dan pemasaran hasil serta jasa transportasi. Usaha pembesaran ikan dalam KJA juga dapat memanfaatkan dan mengarahkan waktu luang keluarga untuk kegiatan yang bersifat produktif.
Mengingat masyarakat di Desa Batunampar, akan kurangnya nilai pendidikan, saya sebagai masyarakat disana, ingin memajukan pendidikan disana. Tapi Alhamdulillah. Mulai sekarang anak-anak muda disana sudah mulai sadar akan pentingnya pendidikan. Dan sudah mulai meningkatkan pendidikannya. Dan bahkan sudah banyak yang melanjutkan kuliahnya sampai jenjang S-1.




DAFTAR PUSTAKA
Ismail, W dan E. Pratiwi. 1997. Sistem Usaha Tani Berbasis Budidaya Laut untuk Pengembangan Desa Pantai. Warta Penelitian Perikanan. Vol. III No. 4. 2 – 6p.
Prisdiminggo, M. Nazam, A. S. Wahid, S. Sisca dan Sudjudi. 1998. Uji Adaptasi Waktu Tanam terhadap Produktivitas Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di teluk Ekas dusun Batunampar, Lombok Timur. Prosiding Seminar Penyuluh, Peneliti dan Petugas Terkait Propinsi Nusa Tenggara Barat. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian
Nazam. M., Prisdiminggo. A. Surahman dan Sudjudi. 2000. Laporan Hasil Pengkajian Uji Adaptasi Pemeliharaan Kerapu Bebek dalam KJA di Teluk Ekas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.
http://www.google.co.id/search?q=pengembangan+desa+batunampar+berbasis+budidaya+laut&ie=utf-8&oe=utf-8&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a.03 juni 2009
http://www.google.co.id/search?q=budidaya+ikan+kerapu+bebek+di+pantai+batunampar&ie=utf-8&oe=utf-8&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a.03 juni 2009
http://www.google.co.id/search?q=dampak+budidaya+ikan+kerapu+di+pantai+natunampar&ie=utf-8&oe=utf-8&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a.06 juni 2009

Tidak ada komentar: